Sabtu, 16 Oktober 2010

Hasil Tugas Paper Permasalahan Kota-Kota Besar ( Samarinda )


PERMASALAHAN PKL DAN PENATAAN KOTA di SAMARINDA

Samarinda adalah salah satu kota besar di Kalimantan Timur yang juga merupakan ibukota dari propinsi tersebut, tidak pernah terlepas dari masalah tenaga kerja, lingkungan kumuh (slump area), kesemrawutan, dan kemacetan lalu lintas, kerusakan kawasan tepian air serta bantaran sungai, kekacauan ruang-ruang public, ketidaksinambungan ekologi kota dan jutaan permasalahan sosial lainnya, seperti kota – kota besar lainnya pada umumnya. Ketika lembaga dan mekanisme sosial tidak mampu menampung akomodasi perubahan-perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat, akan terjadi krisis di kota tersebut. Hal ini memicu konflik yang dapat menghambat pembangunan di kota tersebut.
Tapi konsep perencanaan yang ada ternyata miskin dalam implementasi. Hampir di setiap pemerintah daerah yang ada di Indonesia pengambilan keputusan lebih didominasi dan dilandasi ‘hanya’ oleh para konsepsi pembuat keputusan. Sehingga kebijakan publik yang idealnya diperuntukkan demi kesejahteraan dan kenyamanan masyarakat kerap kali justru menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Kebijakan public lebih berorientasi kepada kepentingan pemerintah “government policy oriented” bukan berpihak pada kepentingan masyarakat atau “social policy oriented“. Di dalam dinamika kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak dapat kita pungkiri ada dua kutub yang sering berbenturan. Kutub pertama disebut kepentingan pemerintah dan sebagai kutub lawannya adalah kepentingan rakyat, sementara ada satu kutub lainnya yang lebih bersifat fleksibel yang disebut swasta, fleksibel karena kutub ini akan ‘menempel ‘ pada kutub mana yang memberikan keuntungan bagi mereka.
Sebagai sontoh permasalahan PKL di kota ini. Dengan paparan sebelumnya tentu kita dapat memilah mana yang menjadi kepentingan rakyat dan mana kepentingan pemerintah. Berbicara masalah PKL tentu kita akan berputar di dalam sebuah lingkaran yang hingga sekarang belum kita dapatkan ujung titik temunya. Berbicara PKL pasti akan mengingatkan kita semua akan keterbatasan lapangan pekerjaan terutama di wilayah perkotaan. Sementara rasio perbandingan jumlah penduduk harus mengalami kenaikan secara signifikan dari tahun ke tahunnya. Ironisnya persentase kenaikan lapangan kerja yang tersedia tidak naik secara drastis sebagaimana jumlah kapasitas penduduk. Dengan demikian tentu kita sepakat bahwa menjadi PKL adalah satu-satunya pilihan hidup bagi mereka yang sudah tidak memiliki keahlian lain. Dan profesi PKL biasanya digeluti oleh masyarakat kecil sehingga kita dapat menggolongkannya sebagai kepentingan rakyat.
Indikator keberhasilan pemerintah daerah biasanya dengan melihat output-output yang mereka ciptakan. Baik itu berupa barang public maupun peraturan publik. Peraturan publik lebih berhubungan kepada aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam hal pelayanan publik, seperti pembuatan KTP, pembuatan KK, prosedur Izin Mendirikan Bangunan, dan lain sebagainya. Sementara barang publik berkaitan dengan kewajiban pemerintah daerah dalam penyediaan sarana dan prasarana tentu saja berikut pemeliharaan dan perawatannya. Atau dengan kata lain menciptakan suasana kota yang kondusif, aman, rapi, bersih dan tenteram adalah kewajiban mutlak yang harus ditunaikan oleh pemerintah. Namun antara kewajiban penataan kerapian kota tersebut ternyata harus dilakukan dengan terus memarjinalisasikan kelompok masyarakat kecil yang tak berdaya. Sehingga di mata masyarakat kegiatan penataan selalu identik dengan kegiatan penertiban dan penggusuran.
Di kota Samarinda menjamurnya PKL merupakan permasalahan sosial yang membenturkan kepentingan pemerintah dan kepentingan masyarakat. Pemerintah berasumsi perlu melakukan tata kota agar kota terlihat rapi, indah, bersih dan teratur. Akan tetapi seringkali para PKL juga diasumsikan sebagai perusak tatanan kota, padahal di sisi lain mereka juga butuh lapangan pekerjaan. Kondisi seperti itu yang dapat menghambat pembangunan yang ada di wilayah tersebut. Oleh sebab itu, untuk mengatasinya, saya merekomendasikan suatu strategi guna meminimalisir kondisi seperti itu:
  1. Dibutuhkan suatu kebijakan dimana kebijakan itu bersumber dari keinginan masyarakat itu sendiri sebagai implementasi dari bottom up planning.
  2. Inefisiensi anggaran dalam kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Kota Samarinda khususnya yang berkaitan dengan PKL dan keberadaan pasar sebagai ‘muara’ kemunculan PKL. Lokasi pasar yang tidak strategis dan kapasitas yang tidak memadai mengakibatkan para pedagang yang tidak tertampung di lokasi pasar beralih profesi menjadi PKL. Konsekuensinya sesuai dengan konsep di dalam system manajemen mutu, kini pemerintah hanya dapat melakukan tindakan koreksi yang tentu membutuhkan alokasi dana yang lebih besar dari tindakan pencegahan.
  3. Mencari strategi yang bukan hanya menjadi koreksi tapi juga sebagai pencegahan di masa datang.
Sumber:
Taufiq.2007.”Jerit PKL Samarinda yang Tak Kunjung Usai “.http://uzumaki.multiplay.com.Diunduh Jumat,15 Oktober 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar